5 Bahaya Kelebihan Dopamin di Era Digital

bahaya kelebihan dopamin
5
(3)

Apa penyebab sebenarnya dari rasa tidak puas dan kecanduan digital yang melanda banyak orang? Jawabannya mungkin terletak pada kondisi kelebihan dopamin.

Bayangkan dopamin sebagai navigator di dalam otak Anda. Tugasnya adalah memberi sinyal, “Ini baik, ulangi lagi!” setiap Anda melakukan hal yang menyenangkan atau bermanfaat.

Namun, di era modern, navigator alami ini mudah sekali dibajakMedia sosial dan pornografi menawarkan stimulasi instan yang memicu produksi dopamin secara tidak wajar, mengacaukan sistem hadiah otak. Penyebab kelebihan dopamin inilah yang kemudian memunculkan berbagai bahaya dan gejala mengganggu—mulai dari hilangnya motivasi hingga kecemasan—yang akan kita kupas tuntas dalam artikel ini.


Apa itu Dopamin?

Dopamin adalah hormon dan sejenis neurotransmitter, atau pembawa pesan kimiawi, yang diproduksi di otak. Sistem saraf menggunakannya untuk mengirim pesan antar sel saraf. Pesan-pesan ini juga berjalan antara otak dan seluruh tubuh manusia. 

Neurotransmitter unik ini memengaruhi tubuh, otak, dan perilaku manusia. Dopamin berperan dalam cara seseorang merasakan kesenangan dan penghargaan. Dopamin merupakan bagian penting dari kemampuan unik manusia untuk berpikir dan membuat rencana. Dopamin membantu kita fokus, bekerja untuk mencapai tujuan, dan menemukan hal-hal menarik.

Bayangkan jika Anda baru saja memenangkan hadiah atau mencapai sesuatu yang hebat, otak Anda dibanjiri dopamin, memberikan perasaan puas dan bahagia. Hal itu membuat Anda termotivasi untuk mengulangi hal yang sama karena membuat bahagia.

Memahami “Dopamin Rush” dan Kecanduan Modern

Dopamin tidak hanya sekadar membuat Anda merasa senang, tetapi lebih tepatnya menciptakan perasaan ingin dan antusiasme yang mendorong Anda untuk bertindak. Ini adalah sistem motivasi otak yang sangat powerful.

Mekanisme Kerja Dopamin:

  1. Pemicu (Trigger): Anda melihat notifikasi dari media sosial atau membuka situs pornografi.
  2. Tindakan (Action): Anda menggeser layar (scroll) atau menonton.
  3. Hadiah (Reward): Otak melepaskan dopamin, menciptakan sensasi senang dan kepuasan.
  4. Pengulangan (Repetition): Karena merasa senang, Anda mengulangi perilaku tersebut. Setiap kali diulang, sirkuit saraf di otak menjadi semakin kuat.

Media sosial dan pornografi adalah “supernormal stimulus”—rangsangan yang dirancang sedemikian rupa sehingga jauh lebih kuat dan intens dibandingkan rangsangan alami yang pernah dihadapi otak manusia sepanjang evolusi. Sebuah like, komentar, atau video pendek memberikan “tusukan” dopamin kecil yang cepat dan dapat diulang tanpa henti.

Demikian pula, pornografi memberikan stimulasi visual dan seksual yang sangat kuat dan tak terbatas, membanjiri otak dengan dopamin dalam kadar yang jauh lebih tinggi daripada aktivitas seksual alami.

Baca selengkapnya pengaruh teknologi digital pada kognisi manusia.

Bagaimana Media Sosial dan Pornografi Menciptakan Kelebihan Dopamin

A. Peran Media Sosial:

  1. Desain yang Membuat Ketagihan: Fitur seperti infinite scroll (bergulir tanpa batas), notifikasi, dan variasi konten yang tak terduga menciptakan “loop kesenangan” yang membuat Anda terus kembali. Mantan desainer etika Google, Tristan Harris, sering memperingatkan bagaimana teknologi dirancang untuk memanipulasi perhatian kita [1].
  2. Validasi Sosial Instan: Setiap like, komentar, dan share adalah bentuk validasi sosial mikro yang memicu pelepasan dopamin. Sebuah studi di Psychological Science menunjukkan bahwa mendapatkan “likes” di media sosial mengaktifkan sirkuit otak yang sama dengan saat makan cokelat atau memenangkan uang [2].
  3. Ketakutan Akan Ketinggalan (FOMO): Perasaan ini menciptakan kecemasan yang justru mendorong Anda untuk terus mengecek media sosial untuk meredakannya, dan setiap kali Anda mengecek, Anda mendapat sedikit “dosis” dopamin.

B. Peran Pornografi:

  1. Akses Tak Terbatas dan Variasi Ekstrem: Internet memberikan akses ke stimulasi seksual yang beragam dan baru hanya dengan sekali klik. Setiap konten baru memicu rasa penasaran dan antisipasi, yang melepaskan dopamin. Ahli saraf Dr. Andrew Huberman menjelaskan bahwa pornografi adalah salah satu stimulus dopamin terkuat di luar obat-obatan terlarang [3].
  2. Sensitivitas Reseptor Dopamin yang Menurun: Saat otak terus-menerus dibombardir oleh kadar dopamin yang tinggi dari rangsangan supernormal ini, reseptor dopamin di otak menjadi kurang sensitif. Akibatnya, Anda membutuhkan konten yang lebih ekstrem, lebih lama, atau lebih sering untuk merasakan tingkat kepuasan yang sama. Inilah yang disebut toleransi, sebuah fenomena yang juga terjadi dalam kecanduan zat dan telah diamati dalam penelitian tentang kecanduan perilaku [4].

Bahaya dan Dampak Negatif Kelebihan Dopamin

Ketika sirkuit dopamin terus-menerus overstimulasi, beberapa masalah serius dapat muncul:

  1. Dopamin Resistensi (Toleransi):
    Seperti yang telah dijelaskan, Anda akan membutuhkan “dosis” yang lebih tinggi untuk merasa senang. Hal ini membuat aktivitas kehidupan nyata—seperti membaca buku, berbicara dengan teman, atau menyelesaikan pekerjaan—terasa membosankan dan tidak memuaskan. Anda kehilangan motivasi untuk hal-hal yang membutuhkan usaha.
  2. Gangguan Motivasi dan Konsentrasi (Anhedonia):
    Karena ambang kesenangan Anda sudah sangat tinggi, Anda mungkin merasa apatis, lesu, dan tidak tertarik pada hobi atau tujuan jangka panjang. Fokus dan perhatian juga akan terganggu karena otak terbiasa dengan stimulasi cepat. Kondisi ini terkait dengan disregulasi sistem dopamin mesolimbik [5].
  3. Gangguan Kecemasan dan Suasana Hati:
    Setelah “dopamin rush” mereda, seringkali diikuti oleh perasaan hampa, bersalah, atau cemas. Siklus naik-turun dopamin yang drastis ini dapat berkontribusi pada meningkatnya stres, kecemasan, dan bahkan gejala depresi. Sebuah penelitian yang diterbitkan di JAMA Psychiatry menemukan korelasi antara penggunaan media sosial yang tinggi dan peningkatan gejala depresi [6].
  4. Gangguan Tidur:
    Cahaya biru dari gawai dan stimulasi mental dari konten yang dikonsumsi dapat mengganggu produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur. Kurang tidur akan semakin memperburuk regulasi dopamin dan kesehatan mental secara keseluruhan [7].
  5. Dampak pada Hubungan Sosial dan Seksual:
    • Media Sosial: Dapat mengurangi kualitas interaksi tatap muka dan memicu perbandingan sosial yang tidak sehat.
    • Pornografi: Dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis tentang seks dan tubuh, menyebabkan ketidakpuasan dalam hubungan intim dengan pasangan dunia nyata, serta berpotensi menyebabkan disfungsi seksual, seperti yang diuraikan dalam tinjauan literatur oleh Dr. Nicole Prause [8].

Langkah-Langkah untuk Mereset Keseimbangan Dopamin

Kabarnya, otak memiliki kemampuan yang disebut neuroplastisitas—kemampuan untuk berubah dan beradaptasi. Berikut adalah langkah-langkah untuk “detoks” dopamin dan mengembalikan keseimbangan:

  1. Kesadaran dan Identifikasi Pemicu: Catat kapan dan mengapa Anda membuka media sosial atau mengakses pornografi. Apakah karena bosan, stres, atau kesepian?
  2. Batasi Akses: Gunakan aplikasi pembatas waktu, nonaktifkan notifikasi, atau hapus aplikasi dari ponsel untuk sementara waktu. Buatlah akses menjadi lebih sulit.
  3. Lakukan “Puasa” Dopamin: Secara sengaja, kurangi konsumsi konten digital dan cari aktivitas alternatif yang lebih sehat namun tetap menyenangkan, seperti berolahraga, membaca buku fisik, atau mempelajari keterampilan baru. Konsep ini dipopulerkan oleh Dr. Anna Lembke dalam bukunya, Dopamine Nation [9].
  4. Kembali ke Sumber Dopamin Alami:
    • Olahraga: Melepaskan dopamin dan endorfin secara alami.
    • Mencapai Tujuan Kecil: Menyelesaikan tugas memberi rasa pencapaian yang memicu dopamin sehat.
    • Interaksi Sosial Tatap Muka: Berbicara dan tertawa dengan orang lain.
    • Mendengarkan Musik atau Terpapar Sinar Matahari.
  5. Bersabar dan Realistis: Proses ini membutuhkan waktu. Jangan mengharapkan perubahan dalam semalam. Yang penting adalah konsistensi.

Pengaruh Meditasi dan Ibadah Terhadap Dopamin

1. Pengaruh Meditasi terhadap Dopamin

Meditasi, terutama jenis focused-attention meditation (seperti meditasi mindfulness), tidak secara langsung membanjiri otak dengan dopamin. Justru, pengaruhnya lebih pada pengaturan dan penyeimbangan sistem dopamin.

  • Meningkatkan Sensitivitas Reseptor Dopamin: Sebuah penelitian yang terkenal dari Harvard Medical School memindai otak para meditator dan menemukan bahwa meditasi dapat meningkatkan pelepasan dopamin hingga 65%. Namun, yang penting, pelepasan ini terjadi secara alami dan internal, bukan sebagai respons terhadap stimulus eksternal yang “murahan”. Ini membantu seseorang merasa tenang, waspada, dan puas tanpa perlu mencari rangsangan dari luar.
  • Mengurangi Pencarian Dopamin Eksternal: Dengan melatih otak untuk merasa puas pada keadaan saat ini, meditasi mengurangi kebutuhan untuk terus-menerus mencari “dopamin rush” dari notifikasi, like, atau konten eksplisit. Anda menjadi kurang reaktif terhadap pemicu-pemicu eksternal.
  • Efeknya Jangka Panjang dan Menstabilkan: Berbeda dengan “spike” atau lonjakan dopamin yang tajam dan cepat hilang dari media sosial, efek meditasi bersifat menetap dan menstabilkan suasana hati. Anda melatih otak untuk menghasilkan perasaan tenang dan bahagia dari dalam, yang merupakan kebalikan dari siklus “naik-turun” yang disebabkan oleh kecanduan.

Kesimpulan untuk Meditasi: Meditasi tidak membuat Anda “kecanduan” pada perasaan senang. Sebaliknya, meditasi membangun ketahanan internal dan mengembalikan keseimbangan sistem dopamin Anda, membuat Anda kurang bergantung pada stimulasi eksternal untuk merasa bahagia.


2. Pengaruh Beribadah terhadap Dopamin

Beribadah adalah aktivitas yang kompleks dan melibatkan aspek spiritual, sosial, dan psikologis. Efeknya pada dopamin juga multidimensi dan sangat positif.

  • Perasaan Tenang dan Pasrah (Mengurangi Kecemasan): Saat berdoa atau bermeditasi dalam konteks ibadah, otak memasuki keadaan yang mirip dengan meditasi. Aktivitas ini mengaktifkan sistem saraf parasimpatis (“rest and digest”) yang menenangkan, menurunkan kortisol (hormon stres), dan menciptakan perasaan damai. Dalam keadaan tenang ini, sistem dopamin tidak mengalami tekanan atau kekacauan.
  • Perasaan Terhubung dan Bermakna: Beribadah, terutama yang dilakukan secara berjamaah, memicu perasaan terhubung dengan komunitas dan dengan Yang Maha Kuasa. Perasaan dicintai, dilindungi, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar adalah sumber kepuasan dan makna yang sangat dalam. Perasaan ini dikaitkan dengan pelepasan dopamin dan oksitosin (hormon ikatan sosial) yang menciptakan kebahagiaan yang tulus dan berkelanjutan.
  • Ritual dan Pengulangan yang Menenangkan: Ritual dalam ibadah (seperti gerakan shalat, melantunkan mantra, atau berdoa) dapat memiliki efek meditatif. Pengulangan ini memberikan struktur, ketenangan, dan rasa terkendali, yang sangat kontras dengan kekacauan dan ketidakpastian yang sering ditimbulkan oleh media sosial.
  • Pencapaian Spiritual (Hadiah Internal): Menyelesaikan ibadah atau merasa dekat dengan Tuhan memberikan rasa pencapaian dan pemenuhan yang bersifat internal. Ini adalah “hadiah” yang tidak tergantung pada validasi orang lain (seperti like di media sosial). Pencapaian spiritual semacam ini memicu pelepasan dopamin yang sehat dan membangun harga diri yang sejati.

Kesimpulan

bahaya kelebihan dopamin

Dopamin adalah sistem hadiah alami otak yang dirancang untuk mendorong kita bertahan hidup dan berkembang. Namun, di era digital, kita telah menciptakan “candu” modern yang membajak sistem ini. Media sosial dan pornografi, dengan desainnya yang sangat adiktif, dapat menyebabkan kelebihan dopamin yang justru merampas motivasi, kebahagiaan, dan kedamaian kita.

Dengan memahami mekanismenya, kita dapat mengambil langkah sadar untuk mengambil kembali kendali atas otak kita, mereset keseimbangan kimiawinya, dan menemukan kembali kesenangan yang lebih autentik dan berkelanjutan dalam kehidupan nyata.

Ibadah mempengaruhi dopamin dengan cara yang konstruktif dan menyehatkan. Alih-alih membajak sistem hadiah otak seperti yang dilakukan media sosial, ibadah memperkuatnya dengan sumber kepuasan yang dalam, bermakna, dan berkelanjutan—seperti rasa damai, keterhubungan, dan tujuan hidup.

Perbandingan Singkat: Dopamin Sehat vs. Tidak Sehat

AspekMedia Sosial / Pornografi (Tidak Sehat)Meditasi & Ibadah (Sehat)
SumberEksternal, artifisial, “murahan”Internal, alami, autentik
PolaLonjakan tajam (& kemudian jatuh)Stabil dan berkelanjutan
Efek pada ReseptorMenurunkan sensitivitas (toleransi)Meningkatkan sensitivitas
TujuanMencari kesenangan sesaat (pleasure)Mencari kedamaian & makna (contentment)
Dampak Jangka PanjangKecanduan, kecemasan, apatiKetahanan mental, keseimbangan, kepuasan hidup

Baik meditasi maupun ibadah adalah “penangkal” yang sangat powerful terhadap efek berbahaya dari kelebihan dopamin akibat media sosial dan pornografi. Keduanya tidak “memberi makan” kecanduan dopamin Anda, melainkan melatih ulang sistem saraf Anda untuk menemukan kepuasan dan kedamaian dari dalam diri sendiri dan melalui koneksi yang bermakna.

Dengan memasukkan praktik-praktik ini ke dalam rutinitas harian, Anda secara aktif membangun kembali keseimbangan dopamin otak Anda dan terhindar dari bahaya kelebihan dopamin. Menjadikan Anda lebih kebal terhadap godaan stimulasi instan dan lebih mampu menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya.

Temukan artikel manarik lainnya di Blog


Sumber Rujukan

  1. [1] Harris, T. (n.d.). The Center for Humane Technology. Dikutip dari penjelasan publik mengenai desain teknologi yang memanipulasi. Situs Web Humane Tech
  2. [2] Sherman, L. E., Payton, A. A., Hernandez, L. M., Greenfield, P. M., & Dapretto, M. (2016). The Power of the Like in Adolescence: Effects of Peer Influence on Neural and Behavioral Responses to Social Media. Psychological Science, 27(7), 1027–1035.
  3. [3] Huberman, A. (2021). Huberman Lab Podcast. “Controlling Your Dopamine For Motivation, Focus & Satisfaction.” [Podcast Transcript/Video].
  4. [4] Volkow, N. D., Wang, G. J., Fowler, J. S., & Tomasi, D. (2012). Addiction circuitry in the human brain. Annual Review of Pharmacology and Toxicology, 52, 321–336.
  5. [5] Treadway, M. T., & Zald, D. H. (2011). Reconsidering anhedonia in depression: Lessons from translational neuroscience. Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 35(3), 537–555.
  6. [6] Primack, B. A., Shensa, A., Escobar-Viera, C. G., et al. (2017). Use of multiple social media platforms and symptoms of depression and anxiety: A nationally-representative study among U.S. young adults. JAMA Psychiatry, 74(10), 1021–1028.
  7. [7] Hale, L., & Guan, S. (2015). Screen time and sleep among school-aged children and adolescents: A systematic literature review. Sleep Medicine Reviews, 21, 50–58.
  8. [8] Prause, N., & Pfaus, J. (2015). Viewing sexual stimuli associated with greater sexual responsiveness, not erectile dysfunction. Sexual Medicine, 3(2), 90-98. (Meskipun topik ini masih diperdebatkan, tinjauan ini memberikan perspektif tentang dampak psikofisiologis).
  9. [9] Lembke, A. (2021). Dopamine Nation: Finding Balance in the Age of Indulgence. Dutton.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk menilainya!

Penilaian rata-rata 5 / 5. Jumlah vote: 3

Tidak ada suara sejauh ini! Jadilah orang pertama yang menilai artikel ini.

Kami mohon maaf karena artikel ini tidak bermanfaat bagi Anda!

Biar kami tingkatkan artikel ini!

Beri tahu kami bagaimana kami dapat menyempurnakan artikel ini?

Show 2 Comments

2 Comments

  1. Andrianto

    terbaik dan sangat menarik,,dan semoga ada cerita dan artikel menarik lainnya terimakasih

  2. I never thought about how the overstimulation from social media might be literally rewiring our brains. I agree that resetting dopamine balance through meditation and worship could be key in addressing this, though I wonder how long it takes to really notice the benefits.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *